
Anak yang sudah hafal Al-Qur’an itu sebenarnya
telah menggenggam sebongkah emas.
Dia bisa membikin bagian bongkahan emas itu untuk
perhiasan apa saja. Tergantung dari keahlian anak itu sendiri.
DR. K.H Ahsin Sakho Muhammad, MA.
(Penasihat Yayasan Al-Ma'shum Mardiyah)

Kami terus mengembangkan
Al-Ma'shum Mardiyah sebagai lembaga pesantren modern, agar mampu menciptakan generasi yang tidak hanya faham agama, tetapi juga ahli agama dan pengetahuan umum lainnya.
H. Muhammad Hernadi, SE., Ak.
(Ketua Yayasan Al-Ma'shum Mardiyah)

Orang mulia karena keturunan raden, kita rakyat jelata.
Orang mulia karena kaya, kita miskin harta.
Orang mulia karena rupa, kita biasa saja.
Kesemuanya sukar diubah, tetapi Allah maha adil,
kita bisa mulia karena berilmu.
Tuntutlah Itu !
alm. Dr. KH. Umay M.Dja’far Shiddieq, MA
(Ketua Badan Pengurus Periode 1998 - 2018)
Oleh : H. Dharsono Sumardjo, M.Pd.

Pendahuluan
Memasuki milenium ketiga, kualitas pendidikan di Indonesia dinilai oleh banyak kalangan masih belum meningkat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2010 masih berada di atas angka 100 dari 169 negara di dunia, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Kedua, hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas VIII bidang IPA berada pada peringkat 32, dan matematika pada peringkat ke 34. Adapun hasil studi tahun 2003, ketika negara lain mengalami kenaikan yang cukup signifikan, kemampuan siswa SMP Indonesia justru mengalami penurunan.
Ketiga, hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2000, kemampuan siswa Indonesia usia 15 tahun (kelas IX dan kelas X) dalam membaca, berada pada urutan 39 dari 42 negara, sedang pada tahun 2006 berada pada urutan 48 dari 56 negara. Hasil studi tahun 2003 bidang matematika, siswa Indonesia berada pada peringkat terbawah, sedang pada tahun 2006, berada pada peringkat 50 dari 57 negara. Untuk bidang IPA pada tahun 2000, kemampuan siswa Indonesia berada pada kelompok bawah, sedang pada tahun 2006 berada pada urutan 50 dari 57 negara.
Kondisi di atas tentu saja mencemaskan, namun menjadi sangat wajar, jika mencermati situasi persekolahan di Indonesia masih ada yang di bawah standar. Dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional dengan Komisi X DPR tanggal 21 Maret 2011 terungkap bahwa dari 201.557 sekolah, mulai dari SD hingga SMA/SMK, ternyata 88,8 persen belum melewati mutu standar pelayanan minimal (SPM). Berdasarkan data yang ada, 40,3 persen sekolah di Indonesia di bawah SPM, sedang 48,89 persennya pada posisi SPM. Hanya 10,15 sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan.
Kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh faktor tunggal, namun ditentukan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Pertama, adalah kualitas gurunya, misalnya: kompetensi dan kelayakan mengajar, tingkat pendidikan, wawasan, komitmen dan pengalaman mengajarnya; Kedua, prestasi yang telah dicapai oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan; Ketiga, fasilitas fisik, sarana dan prasarana, serta dana yang tersedia; Keempat, kurikulumnya; Kelima, manajemen sekolahnya; Keenam, kualitas lulusannya; dan Ketujuh, pengaruh lembaga tersebut terhadap masyarakat.
Dari berbagai faktor di atas, guru mempunyai peran yang besar. Hasil penelitian Heyneman dan Loxly yang dilakukan di 29 negara sedang berkembang dan negara maju, menunjukkan bahwa diantara berbagai masukan yang menentukan prestasi siswa, lebih dari sepertiganya ditentukan oleh guru. Di 16 negara yang sedang berkembang guru memberikan konstribusi terhadap prestasi belajar siswa sebesar 34 persen, manajemen 22 persen, waktu belajar 18 persen dan sarana fisik 26 persen. Sedang di negara maju-industri, konstribusi guru terhadap prestasi siswa sebesar 36 persen, manajemen 23 persen, waktu belajar 22 persen dan sarana fisik 19 persen.
Guru menjadi komponen yang paling menentukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan, karena gurulah yang sanggup untuk menggerakkan komponen kurikulum, sumber belajar, sarana prasarana dan lain sebagainya menjadi proses pembelajaran yang bermakna sehingga potensi spiritual, sosial, akademis, fisik, emosi dan kretivitas peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Menyadari posisi sentral guru, maka sudah sewajarnya masyarakat menuntut guru yang berkualitas : kinerjanya tinggi, kreatif, dan profesional. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002/2003, kualitas guru di Indonesia masih rendah. Dari jumlah guru yang mendekati 2,5 juta orang, ternyata, guru yang layak mengajar 59,65 persen dan yang tidak layak mengajar sebesar 40,35 persen.
Kinerja guru dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, antara lain: kompetensi, kepemimpinan, kesejahteraan, iklim kerja, motivasi kerja, kreativitas, motivasi berprestasi, disiplin kerja, dan budaya sekolah.
Dua faktor yang potensial adalah budaya sekolah dan motivasi berprestasi. Guru yang memiliki kompetensi dan ketrampilan kerja yang baik, akan memiliki kinerja yang tinggi jika sekolah dimana guru yang bersangkutan mengajar, memiliki budaya sekolah yang baik, memiliki nilai-nilai yang dikembangkan secara bersama dalam kehidupan sekolah yang tertib, disiplin, bersih, sehat, nyaman dan mengembangkan mutu.
Selain budaya sekolah, aspek lain yang berkaitan erat dengan kinerja adalah motivasi berprestasi. Guru yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan bekerja sebaik mungkin, mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk melaksanakan tugas dan kewajibanya sebagi guru sehingga potensi peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hakikat Kinerja Guru
Kinerja (performance) dapat dimaknai sebagai pertunjukan; perbuatan; daya guna; prestasi atau hasil. Smith dalam Dharma (2008:20), mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia. Sedang Wirawan (2009:5) mendefinisikan kinerja sebagai keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi, misalnya dokter, dosen, guru, hakim dan akuntan dalam waktu tertentu.
Kinerja dapat juga dimaknai sebagai nilai dari perilaku pekerja yang berkontribusi secara positif atau negatif terhadap pencapaian tujuan organisasi (Colquitt, Lepine dan Wesson, 2009:3). Sedang Suprihanto dalam Saiful Bachri (2010:9) menyatakan, kinerja atau prestasi kerja seorang pegawai pada dasarnya adalah hasil kerja seorang pegawai selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target atau kinerja yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Pengertian lain tentang kinerja dikemukakan Simanjuntak (2005:1), yang mengatakan, kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Sedang Popi Sopiatin (2010:62) mendefinisikan kinerja sebagai unjuk kerja seseorang yang didasari oleh pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Pandangan yang lebih lengkap dikemukakan oleh Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2007:2) yang mengatakan, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut, serta tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Lebih lanjut dikatakan, kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan konstribusi ekonomi.
Sedang Brombach dalam Jones et all (2006:2-4) menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku dan hasil. Perilaku datang dari pelaku, yang mentransformasikan hal yang abstrak menjadi tindakan. Perilaku merupakan produk dari usaha secara fisik dan rohani dalam melaksanakan suatu tugas dan dapat dinilai dari hasilnya.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam kinerja terkandung makna adanya hasil kerja, bagaimana proses kerja itu berlangsung, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berupa pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pekerjaan.
Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Simanjutak (2005:10-13), faktor yang mempengaruhi kinerja dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kompetensi, yaitu kemampuan dan ketrampilan melakukan kerja. Kompetensi dipengaruhi oleh kebugaran fisik, kesehatan jiwa, pendidikan, akumulasi pelatihan dan pengalaman kerjanya, motivasi dan etos kerja individu bersangkutan. Individu yang memandang pekerjaan sebagai beban akan mempunyai kinerja yang rendah, sedang individu yang memandang pekerjaan sebagai kebutuhan, pengabdian, tantangan dan prestasi akan menghasilkan kinerja yang tinggi. Motivasi dan etos kerja dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, lingkungan masyarakat, dan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Kedua, dukungan organisasi dalam bentuk pengorganisasian, penyediaan sarana dan prasarana kerja, pemilihan teknologi, kenyamanan lingkungan kerja, serta kondisi dan syarat kerja. Pengorganisasian dimaksudkan untuk memberikan kejelasan tentang sasaran dan bagaimana cara yang dilakukan untuk mencapai sasaran. Kondisi dan syarat kerja yang mencakup antara lain : kenyamanan lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, sistem pengupahan dan jaminan sosial, serta keamanan dan keharmonisan hubungan, dapat mendorong individu untuk melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi kinerja setiap orang.
Ketiga, dukungan manajemen. Kemampuan pimpinan dalam membangun sistem kerja dan hubungan yang aman dan harmonis, mengembangkan kompetensi pekerja, dan menumbuhkan motivasi secara optimal dapat meningkatkan kinerja seseorang. Beberapa cara yang dapat mengembangkan kompetensi pekerja, antara lain dengan mendorong pekerja untuk terus belajar meningkatkan wawasan dan pengetahuannya, dan atau membantu setiap orang yang menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugas, dan lain sebagainya.
Sejalan dengan pemikiran Simanjuntak namun dengan nuansa yang berbeda Wirawan (2009:6-8) mengatakan kinerja merupakan hasil sinergi sejumlah faktor internal dan eksternal organisasi. Pertama, lingkungan internal pegawai, misalnya : bakat, sifat pribadi, keadaan fisik dan kejiwaan, pengetahuan, ketrampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan motivasi kerja. Kedua, lingkungan internal organisasi, mencakup antara lain strategi organisasi, teknologi, dukungan sumber daya, serta sistem manajemen dan kompensasi. Ketiga, lingkungan eksternal organisasi, berupa keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi dilingkungan eksternal organisasi, misalnya : krisis ekonomi dan keuangan, serta budaya masyarakat.
Untuk menilai kinerja seseorang perlu terlebih dahulu menentukan kriteria penilaian kinerja. Menurut Peter F Drucker (Saiful Bahri, 2010:10-11), kinerja pegawai dapat dinilai dari dua sudut pandang, yaitu efisiensi dan efektivitas kerja. Efisiensi kerja mengacu kepada penyelesaian pekerjaan dengan benar dalam waktu yang relatif singkat dan biaya seminim mungkin. Efektivitas kerja mengacu kepada penyelesaian pekerjaan secara benar, walaupun dengan tenaga dan biaya tinggi.
Pandangan lain dikemukakan Schuler dan Jackson yang menyatakan kriteria kinerja meliputi antara lain : (1) kriteria berdasarkan sifat yaitu kriteria yang memusatkan pada karakteristik pribadi pegawai seperti loyalitas, keandalan, ketrampilan memimpin, dan berkomunikasi; (2) kriteria berdasarkan perilaku, yaitu bagaimana pekerjaan dilaksanakan, dan (3) kriteria berdasarkan hasil, yaitu kriteria yang berfokus pada hasil yang dicapai, ketimbang bagaaimana pekerjaan itu dihasilkan (Saiful Bahri, 2011:11),.
Sedang Mitchell dalam Dharma (2008:20) mengatakan bahwa untuk mengukur kinerja seseorang dapat dilihat dari lima hal, yaitu : (1) Quality of work, kualitas hasil kerja, (2) Promptness, ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan, (3) Initiative, prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan, (4) Capability, kemampuan menyelesaikan pekerjaan, dan (5) Comunication, kemampuan membina kerja sama dengan pihak lain.
Kinerja guru terkait dengan aktivitas guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu : (1) Merencanakan pembelajaran; (2) Melaksanakan pembelajaran, berupa kegiatan tatap muka; (3) Menilai hasil pembelajaran, melalui tes maupun non tes; (4) Membimbing dan melatih peserta didik, dalam kegiatan tatap muka, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler; (5) Melaksanakan tugas tambahan, misalnya sebagai kepala sekolah, wakil kepala, pengawas dan lain sebagainya.
Kinerja guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Anderson (1989:347), kinerja guru adalah apa yang sebenarnya dilakukan guru, bukan hanya sekedar melaksanakan tugas, tetapi sesuatu yang spesifik dalam situasi kerja dan sangat tergantung pada kemampuan menerapkan kompetensi pada waktu tertentu. Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Menurut Sopiatin (2010:63), seorang guru akan melakukan tugasnya dengan baik jika ia mempunyai : (1) komitmen yang tinggi terhadap tugas mengajar, (2) menguasai dan dapat mengembangkan bahan ajar, (3) disiplin dalam melaksanakan tugas mengajar dan tugas lainnya, (4) kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran, dan (5) bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.
Faktor lain yang mempengaruhi kinerja guru adalah tingkat kesediaan, serta pemahaman yang jelas tentang apa yang mau dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Berkaitan dengan tugas guru, sebagai tenaga profesional, Uzer (2008:17-19) mengatakan tugas guru antara lain adalah : (1) menguasai bahan pengajaran yang sesuai dengan kurikulum, (2) menyusun program pengajaran, mulai dari tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran, strategi belajar mengajar, dan media pembelajaran yang tepat, (3) melaksanakan program pengajaran, mulai dari penciptaan iklim belajar yang kondusif, mengatur ruangan dan interaksi belajar mengajar, (4) menilai prestasi belajar dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Sedang Suderadjat (2001:4-5) menyatakan, kegiatan guru dalam proses pembelajaran mencakup antara lain : (1) merumuskan tujuan instruksional, dan menetapkan instrumen evaluasinya, (2) memilih, menetapkan dan mengorganisasikan materi pembelajaran, (3) merencanakan proses pembelajaran, dengan memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran yang ada, memilih metode dan media yang tepat, (4) mengelola proses pembelajaran di kelas, laboratorium dan bahan kokurikuler, (5) mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran siswa, dan (6) menyiapkan dan menyampaikan laporan hasil evaluasi pembelajaran.
Keberhasilan guru dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh lembaga tempatnya bekerja, sangat tergantung pada kualitas guru yang bersangkutan. Menurut Simon dan Alexander sebagaimana dikutip Mulyasa (2009:13-14), terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik yaitu : jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas dan kualitas kemampuan guru.
Lebih lanjut Simon dan Alexander mengatakan, kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi yaitu dari segi proses dan hasil. Dari segi proses, guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagain besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran. Disamping itu dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik.
Seorang guru yang profesional disamping memiliki pengetahuan yang dalam tentang pekerjaannya, yang diperolehnya dari latihan atau sekolah khusus, juga harus memiliki karakteristik yang khas. Menurut Ward dalam Hoffman dan Edwar yang dikutip Martinis Yamin dan Maisah (2010:31-32), dikatakan bahwa guru yang profesional memiliki beberapa karakteristik yang khas yaitu :(1) seorang peneliti dan pengambil resiko, (2) banyak mengetahui hal yang up to date tentang pokok materi yang di ajarkan, (3) dapat menjelaskan pelajaran dengan berbagai cara untuk meyakinkan siswa, (4) menjelaskan kepada siswa tentang standar hasil yang tinggi, kemudian mendorong mereka untuk bekerja keras kemudian membantu mencapainya, dan (5) berpartisipasi dalam usaha pembelajaran untuk mengembangkan kurikulum di luar apa yang diajarkan.
Pendapat lainnya tentang guru profesional dikemukakan Soedijarto dalam Kusnandar (2007:57), yang merinci beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran kemampuan guru yang profesional yaitu : (1) merancang dan merencanakan program pembelajaran, (2) mengembangkan program pembelajaran, (3) mengelola pelaksanaan program pembelajaran, (4) menilai proses dan hasil pembelajaran, (5) mendiagnosis faktor yang mempengar pembelajaran.
Untuk mengetahui kinerja guru tinggi atau rendah, dapat dilakukan melalui penilaian kinerja guru. Menurut Popi Sopiatin (2010:64), seorang guru dikatakan memiliki kinerja tinggi, jika yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan efektif, dan mempunyai motivasi tinggi, yang dapat dilihat dari dampak pengajaran yang diperoleh siswa yaitu pencapaian hasil belajar siswa yang tinggi.
Kinerja guru dapat dievaluasi berdasarkan kemampuan yang harus diunjuk-kerjakan guru dalam pembelajaran siswa. Menurut Suderadjat (2001:5), terdapat tujuh komponen yang harus diunjuk-kerjakan oleh guru yaitu : (1) perumusan tujuan pembelajaran, (2) analisis materi pembelajaran, (3) perencanaan program tahunan dan catur wulan/semester, (4) pengembangan satuan pelajaran, (5) administrasi kelas, (6) kemampuan keguruan, dan (7) evaluasi proses dan penilaian hasil belajar.
Departemen Pendidikan Nasional telah mengembangkan Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG), yang terdiri atas : (1) rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) prosedur pembelajaran, dan (3) hubungan antar pribadi. Adapun indikator penilaian terhadap kinerja guru dilakukan terhadap tiga kegiatan pembelajaran di kelas yaitu : (1) Perencanaan Program Kegiatan Pembelajaran. Tahap yang berhubungan dengan kemampuan menguasai bahan ajar, yang dapat dilihat dari cara penyusunan program kegiatan pembelajaran mulai dari pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran. Mencakup kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, serta penggunaan metode dan strategi pembelajaran, dan (3) Evaluasi Pembelajaran. Pada tahap ini, guru dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara evaluasi, penyusunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil evaluasi.
Berdasarkan pemaparan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja guru adalah hasil yang dicapai dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai guru mulai dari perencanaan sampai evaluasi.
Adapun kinerja guru dapat diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut : (1) Persiapan bahan pelajaran, (2) Perumusan tujuan pembelajaran, (3) Penyampaian materi pelajaran, (4) Penilaian kegiatan pembelajaran, dan (5) Hasil analisis kegiatan pembelajaran, dan (6) Pelaksanaan bimbingan.
Hakikat Budaya Sekolah
Budaya merupakan salah satu konsep yang sangat penting untuk memahami masyarakat, karena budaya adalah hasil karya manusia dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat. Menurut Herskovits (Sobirin, 2009:51), budaya adalah sebuah kerangka pikir yang menjelaskan tentang keyakinan, perilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandangan hidup sekelompok orang.
Kotter dan Heskett (Aan dan Cepi, 2005:97) mengartikan budaya sebagai totalitas perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya serta pemikiran manusia yang mendirikan masyarakat atau produk yang ditransmisikan bersama.
Ciri yang menonjol dari suatu budaya terlihat dari adanya nilai-nilai yang dipersepsi, dirasakan dan dilakukan. Menurut Tasmara (Aan dan Cepi, 2005:97), ada empat kandungan utama yang menjadi esensi budaya yaitu : (1) budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungan yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku; (2) adanya pola nilai, sikap, tingkah laku, kasil karsa dan karya, termasuk segala instrumennya, sistem kerja dan teknologi; (3) budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan, serta proses seleksi, norma-norma yang ada dalam cara dirinya berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya ditengah-tengah lingkungan tertentu; (4) dalam proses budaya terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling ketergantungan baik sosial maupun lingkungan non sosial.
Setiap organisasi yang berhasil, memiliki budaya organisasi yang menjadi acuan bersama seluruh anggotanya. Schein mengatakan, budaya organisasi dapat diartikan sebagai sistem keyakinan bersama, dan nilai-nilai di dalam organisasi yang membentuk dan mengarahkan perilaku anggotanya (Kinicki dan Williams, 2008:248). Sedang Robins dan Judge (2007:256) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai bersama yang dianut oleh anggota organisasi yang membedakan organisasi satu dengan lainnya.
O’Reilly, Chatman dan Caldwel sebagaimana dikutip Colquitt, Lepine dan Wesson (2009:546) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pengetahuan sosial bersama di dalam sebuah organisasi tentang aturan-aturan, norma-norma, dan nilai yang membentuk sikap dan perilaku pegawainya. Sedang Djokosantoso (2004:21) mendifinisikan budaya organisasi sebagai sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Pengertian lain yang lebih lengkap dikemukakan Schein (2004:17) yang mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar-diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu untuk memecahkan masalah, menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja cukup baik serta di anggap berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir, dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut.
Lebih lanjut Schein (2004:25-36) mengatakan, budaya organisasi memiliki 3 (tiga) level. Pertama, artefak. Artefak merupakan lingkungan fisik dan sosial organisasi, mencakup fenomena yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan, misalnya teknologi, produk seni, barang dan jasa, bangunan, bahasa, dan perilaku nyata anggota dalam hal berpakaian, penampilan dan lain sebagainya.
Kedua, nilai-nilai. Seluruh pembelajaran organisasi merefleksikan nilai-nilai anggota, perasaan mereka mengenai apa yang seharusnya berbeda dengan apa adanya. Nilai-nilai menjadi solusi, jika ada masalah yang dihadapi anggota atau kelompok atau tugas baru. Nilai merupakan filosofi, misi, tujuan organisasi, dan standar.
Ketiga, asumsi dasar. Asumsi dasar merupakan bagian utama budaya organisasi, menyangkut keyakinan, hubungan dengan lingkungan, kenyataan, ataupun solusi yang paling dipercaya.
Berkaitan dengan nilai budaya, Miller dalam Pabundu (2006:39-43) secara lugas dan detail menyatakan bahwa dalam perusahaan terdapat nilai budaya yang digolongkan menjadi dua. Pertama adalah nilai-nilai primer, yaitu nilai-nilai utama yang dapat diterapkan semua organisasi manajemen mencakup antara lain : (1) tujuan organisasi, (2) konsensus (3) keunggulan; (4) kesatuan kepentingan;(5) prestasi, (6) keakraban, (7) empirisme dan (8) integritas.
Kedua, adalah nilai-nilai sekunder, yaitu nilai yang bersifat variabel bisnis, mencakup antara lain: (1) fokus pada pelanggan/fokus pada produk, (2) kewiraswastaan, (3) pengambilan keputusan yang cepat/keputusan yang lambat, (4) fokus jangka pendek/fokus jangka panjang, (5) pengendalian disiplin/kendali hilang, (6) teknologi canggih/sederhana.
Budaya organisasi mempunyai peranan yang penting dalam suatu organisasi, karena budaya organisasi dapat berfungsi sebagai pembeda karakteristik organisasi, dan dapat menunjukkan mekanisme kontrol terhadap norma dan perilaku. Menurut Fred Luthans (2006:125), budaya organisasi memiliki enam karakteristik yang penting, yaitu : (1) Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat, dan cara berperilaku; (2) Norma. Standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi ” Jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit”; (3) Nilai dominan. Nilai-nilai utama yang mendukung organisasi, misalnya kualitas produk tinggi, sedikit absen, dan efisiensi tinggi; (4) Filosofi. Kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan; (5) Aturan. Pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan. Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang; dan (6) Iklim organisasi. Keseluruhan perasaan yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara anggota berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar.
Sedang menurut Robins dan Judge (2007:256-257), budaya organisasi memiliki tujuh karakteristik utama, yaitu : (1) Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko; (2) Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail; (3) Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada taknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut; (4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi; (5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada individu-indvidu; (6) Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai; (7) Kemantapan. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandinganya dengan pertumbuhan.
Budaya organisasi mempunyai kaitan yang erat dengan kinerja. Menurut Kotler dan Hesket (Djokosantoso, 2004:29), kekuatan budaya organisasi berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu : (1) Penyatuan tujuan. Sebuah perusahaan dengan budaya yang kuat, karyawannya cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama; (2) Budaya yang kuat membantu kinerja karena menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa dalam diri para karyawan; dan (3) Budaya yang kuat membantu kinerja karena memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan.
Mencermati berbagai pandangan tentang budaya organisasi di atas, sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, sejatinya mempunyai ciri dan budaya tersendiri yang dibentuk dan dipengaruhi oleh pola nilai-nilai, norma, sikap, mitos, kebijakan-kebijakan pendidikan, kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah.
Sekolah merupakan organisasi yang unik, karena sekolah merupakan tempat belajar mengajar, tempat bergabungnya orang-orang- ada kelompok guru, staf, kelompok siswa, orang tua, pimpinan sekolah, dan lain sebagainya dengan latar belakang, motivasi, tujuan dan watak kepribadian yang berbeda, yang terikat dalam kerja sama untuk mencapai tujuan sekolah.
Dalam mencapai tujuan sekolah berlaku norma, aturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan kerja sama antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Wahyosumijdjo (1999:173), sekolah merupakan tempat untuk menanamkan berbagai macam nilai, pengetahuan, ketrampilan dan wawasan. Sebagai masyarakat belajar sekolah berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti menumbuhkan, memotivasi dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang mencakup etika, logika, estetika dan praktika yang berakar pada budaya bangsa.
Dengan demikian, ciri khas pada budaya sekolah terdapat pada pembelajaran, artinya budaya sekolah mengacu pada upaya untuk menumbuhkembangkan peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya sesuai dengan prinsip kemanusiaan.
Menurut Hoy dan Miskel dalam Wirawan (2007:17-20), budaya organisasi sekolah terdiri atas tiga hal utama. Pertama, adalah norma. Norma merupakan fenomena universal, elemen dasar yang digunakan untuk memahami aspek lainnya dan dapat menentukan cara berbicara, berpakaian, merespon konflik dan lain sebagainya. Norma dilaksanakan dengan mengenakan sanksi atau pemberian penghargaan, seringkali disampaikan melalui cerita, misalnya : kepala sekolah membela pra guru karena adanya tekanan orang tua dan penilik sekolah, akan menjadi simbol loyalitas dan kehohesifan budaya sekolah.
Kedua, nilai-nilai bersama. Berupa konsepsi mengenai apa yang diharapkan, dan apa yang harus dilakukan anggota organisasi agar sukses, antara lain : (1) komitmen organisasi, (2) keterbukaan, (3) kepercayaan dan loyalitas kelompok, (4) kerja sama dan tim kerja, dan (5) Orientasi karir.
Ketiga, asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi dimengerti tanpa diucapkan, misalnya : (1) kebenaran akhir datang dari guru, (2) Guru bertangung jawab, termotivasi dan mengatur diri sendiri, (3) kebenaran ditentukan melalui debat, (4) para guru adalah satu keluarga, mereka menerima, menghormati dan saling menghargai, (5) sebagian besar guru loyal terhadap sekolah, dll.
Dewasa ini budaya sekolah semakin mendapat perhatian dalam kajian manajemen pendidikan, karena upaya peningkatan kualitas hanya pada aspek proses pembelajaran tidaklah cukup, perlu upaya mengembangkan kultur sekolah. Menurut Phillips budaya sekolah diartikan sebagai the beliefs, attitudes, and behaviors which characterize a school. Sedang Deal dan Paterson mengartikannya sebagai deep patterns of values, beliefs and traditions that have formed over the course of the schools history (Aan dan Cepi ,2005:101).
Dari dua definisi yang telah dipaparkan dapat dikatakan bahwa komponen esensial budaya yang membentuk karakter sekolah adalah nilai, kepercayaan, sikap dan perilaku warga sekolah.
Pengertian lain tentang budaya sekolah dikemukakan McBrien dan Brandt yang mendefinisikan budaya sekolah sebagai total nilai, budaya, rasa aman, yang berhubungan dengan struktur sekolah yang menyebabkan budaya sekolah berfungsi dan beraksi secara istimewa. Sedangkan Wagner mengatakan, budaya sekolah memberikan pengalaman baik disekolah maupun di luar sekolah (tradisi dan perayaan), rasa kebersamaan, keluarga dan tim (Aan dan Cepi, 2005:102).
Dari pemaparan berbagai pengertian budaya sekolah di atas, dapat dikatakan bahwa budaya sekolah merupakan karakteristik khas sekolah, kepribadian sekolah yang membedakan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Nilai, norma, dan asumsi yang menjadi bagian budaya sekolah akan mendorong seluruh anggota organisasi sekolah untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebaik mungkin.
Budaya sekolah yang baik akan mendorong seluruh anggota masyarakat sekolah untuk meningkatkan kinerjanya agar tujuan sekolah dapat tercapai. Oleh karena itu sekolah seharusnya mengembangkan nilai-nilai yang relevan dengan visi sekolah, terutama keberpihakan terhadap proses belajar sebagai misi utama sekolah.
Menurut Peter dan Waterman, nilai –nilai yang secara konsisten harus dilaksanakan di sekolah adalah : (1) mutu dan pelayanan, (2) berusaha menjadi yang terbaik, (3) memberikan perhatian penuh kepada detail, (4) tidak membuat jarak dengan klien, (5) melakukan sesuatu sebaik mungkin, (6) bekerja melalui orang, (7) memacu inovasi, (8) dan toleran terhadap usaha yang belum berhasil (Aan dan Cepi, 2005:107-108).
Sedang menurut Burnham dan Bradbury (2003:19), sekolah yang efektif memiliki ciri-ciri antara lain : (1) sistem nilai bersama, (2) tujuan inti sekolah, (3) visi yang jelas, (4) kepemimpinan yang terfokus pada budaya belajar, (5) budaya yang difokuskan pada prestasi belajar, (6) sistem manajemen yang didasarkan pada nilai-nilai luhur, (7) definisi kinerja yang jelas dan sesuai dengan harapan, dan (8) memiliki strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh seluruh sekolah.
Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2007 telah menetapkan peraturan tentang standar pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, yang berisi antara lain : (1) sekolah merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah, (2) sekolah menyusun dan melaksanakan rencana kerja jangka menengah dan tahunan, (3) pengawasan dan evaluasi, (4) kepemimpinan sekolah, dan (5) sistem informasi manajemen.
Disamping itu, sekolah dan madrasah mengembangkan budaya dan lingkungan sekolah yang baik antara lain dengan : (1) Menciptakan suasana, iklim, dan lingkungan pendidikan yang kondusif untuk pembelajaran; (2) Menyusun tata tertib peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan; (3) Menyusun kode etik sekolah yang memuat hubungan sesama warga sekolah, dengan masyarakat sekitar, serta pemberian penghargaan dan sanksi.
Berdasarkan teori di atas yang dimaksud dengan budaya sekolah adalah kumpulan sistem nilai yang digunakan, dikembangkan dan secara konsisten dilaksanakan oleh warga sekolah, kebiasaan-kebiasaan perilaku warga sekolah, dan tindakan yang ditampilkan dan ditunjukkan oleh seluruh warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan.
Adapun indikator budaya sekolah adalah : (1) Visi, misi dan tujuan organisasi, (2) Berorientasi orang, (3) Mutu dan pelayanan, (4) Nilai kesatuan kepentingan, (5) Imbalan berdasar prestasi, (6) Pengendalian disiplin, dan (7) Nilai Keakraban dan kekompakan.
Hakikat Motivasi Berprestasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin “movere” yang berarti “menggerakkan”. Husain Umar (2009:250) mengatakan, motivasi merupakan proses psikis yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu, yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang. Menurut Mitchell sebagaimana dikutip Winardi (2001:1), motivasi merupakan proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Pandangan lain dikemukakan oleh Gray (Winardi, 2001:2), yang mengatakan, motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiame dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Sedangkan Robins (2007:222) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang berperan pada intensitas, arah dan lamanya berlangsung upaya individu ke arah pencapaian tujuan.
Motivasi merupakan suatu proses psikologi yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Siagian (2004:138) menyatakan, motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan-dalam bentuk keahlian atau ketrampilan- tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Dari pengertian di atas, terkandung tiga hal yang sangat penting. Pertama, motivasi merupakan proses internal. Kedua, motivasi berkaitan dengan dengan usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Ketiga, motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu.
Menurut Siagian (2004:138-140), motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang yang dikenal dengan motivasi internal atau intrinsik, dan yang bersumber dari luar diri seseorang yang dikenal dengan motivasi eksternal atau ekstrinsik. Motivasi internal antara lain adalah jika seseorang berhasil melaksanakan tugas yang diembannya, akan berusaha bekerja lebih keras lagi dimasa yang akan datang. Sedang motivasi eksternal terlihat antara lain adalah pemberian pujian dan penghargaan oleh atasan terhadap bawahan.
Motivasi seringkali digunakan secara bergantian dengan kebutuhan (need), karena kebutuhan merupakan salah satu kekuatan yang mendorong seseorang melakukan tindakan. Salah satu teori motivasi yang paling banyak mendapat sorotan adalah teori hirarki kebutuhan yang dikembangkan Abraham Maslow.
Pada awalnya, hirarki kebutuhan Maslow (1993:43-57) dari jenjang kebutuhan yang rendah ke tinggi ada lima tingkatan yaitu : (1) Kebutuhan fisiologikal, (2) Kebutuhan keamanan, (3) Kebutuhan Sosial, (4) Kebutuhan penghargaan, dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri. Seiring berjalannya waktu, teori hirarki kebutuhan Maslow pun mengalami penyempurnaan menjadi delapan tingkatan.
Menurut Huit (2007) kebutuhan manusia ada dua kelompok utama yaitu : kebutuhan dasar atau kekurangan pemenuhan kebutuhan (urutan 1 sampai 4 dari bawah) dan kebutuhan pertumbuhan atau meta kebutuhan (urutan 5 sampai delapan). Dengan demikian, hirarki kebutuhan Maslow dari yang tertinggi ke rendah menjadi : (8) Self transcendence- kebutuhan transendental, (7) Self-actualization- kebutuhan aktualisasi diri, (6) Aesthetic-kebutuhan estetika, (5) Cognitive-kebutuhan ingin tahu dan mengerti, (4) Esteem- kebutuhan penghargaan, pengakuan, (3) Belongingness and love- kebutuhan rasa memiliki dan cinta, (2) Safety- kebutuhan keamanan, dan (1) Physiological- kebutuhan fisiologikal.
Disamping teori hirarki kebutuhan Maslow, terdapat teori kebutuhan yang dikembangkan oleh David McClelland, dkk. Awalnya, McClelland melakukan penelitian tentang semangat entrepreneurship pada bangsa-bangsa yang berbeda-beda. Dengan tehnik proyeksi, McClelland melakukan analisis terhadap cerita anak-anak dari berbagai bangsa, ditemukan bahwa semangat wirausaha itu sangat dipengaruhi oleh keinginan berprestasi, dan keinginan berprestasi sangat dipengaruhi oleh tehnik orang tua dalam mendidik anaknya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, McClelland (1987:40) memberikan kategori kebutuhan manusia menjadi tiga kebutuhan yaitu (1) Need for achievement-nAch- kebutuhan akan prestasi, (2) Need for affiliation-nAff – kebutuhan akan afiliasi, dan (3) Need for power-nPow- kebutuhan akan kekuasaan. Menurut McClelland(1987:3), individu yang mempunyai nAch yang tinggi, bila dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks, cenderung melakukannya dengan semakin baik begitu mereka berhasil. Mereka tampak antusias untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik, serta mempelajari bagaimana mengerjakan tugas tersebut dengan lebih baik lagi pada saat mereka melanjutkannya lagi.
Dalam perkembangannya, teori tiga kebutuhan oleh McClelland (1995:4)dinamakan juga teori tiga motif sosial yaitu (1) the achievment motive- motif berprestasi, (2) the afiliation motive- motif afiliasi, dan (3) the power motive- motif kekuasaan. Menurut McClelland motif berprestasi adalah dorongan yang menggerakan pikiran individu untuk mempengaruhi orang lain melampaui standar yang ditetapkan, menciptakan sesuatu yang baru, unik dan inovatif, serta melibatkan diri dalam perencanaan dan karir jangka panjang.
Secara ringkas Kinicki dan Williams (2008:389) mendeskripsikan tiga kebutuhan Clelland sebagai berikut : (1) Need for achievement, dorongan untuk mengatasi berbagai tantangan dan hambatan secara tepat guna, (2) Need fo affiliation, dorongan untuk berhubungan secara dekat atau bersahabat dengan orang lain sebanyak-banyaknya, (3) Need for power, dorongan untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk, patuh dan bertanggung jawab.
Jika dicermati, ketiga kebutuhan atau motif sosial di atas sesungguhnya ada di dalam diri seseorang dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang motivasi berprestasinya tinggi, kebutuhan akan kekuasaan tinggi, tetapi afilisiasi rendah, ada juga orang yang kebutuhan afilisiasinya tinggi, tetapi motivasi berprestasinya rendah, dan lain sebagainya.
Gibson, Ivancevich, Donelly dan Konopaske (2004:141) mengatakan, motivasi berprestasi adalah kebutuhan atau dorongan dari dalam diri yang mengarahkan perilaku individu untuk mencapai kepuasan. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki dorongan yang kuat untuk meraih prestasi dengan cara menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, bekerja keras untuk mencapai tujuan dan menggunakan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki.
Menurut Siagian (2004:167-168), orang yang memiliki need for achievement yang tinggi memiliki ciri-ciri antara lain : (1) bekerja lebih baik dari yang lainnya, (2) berusaha menunjukkan keunggulan, (3) menyenangi pekerjaan yang sulit, dan berhasil, (4) berani mengambil resiko, (5) bertanggung jawab.
Motivasi berprestasi yang tinggi dapat meningkatkan kinerja seseorang, karena motivasi berprestasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga berhasil. Siap menghadapi tantangan, kesulitan yang menghadang dan berusaha memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping itu, motivasi berprestasi juga dapat menumbuhkan situasi berkompetisi yang sehat, dan kompetisi itu menyebabkan seseorang berusaha meningkatkan keinginannya untuk berhasil dan memperkecil kemungkinan untuk gagal.
Mengutip McClelland, Husaini (2009:259-260) mengatakan, seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu mempunyai pola pikir tertentu ketika ia merencanakan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu selalu mempertimbangkan pekerjaan yang akan dilakukan itu cukup menantang atau tidak. Seandanya pekerjaan itu menantang, maka ia akan memikirkan kekuatan, peluang, dan ancaman yang mungkin dihadapi dalam mencapai tujuan tersebut dan menentukan strategi yang akan dilakukan.
Lebih lanjut Husaini menyatakan, orang yang motivasi berprestasinya tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) kesediannya untuk memikul tangung jawab sebagai konsekuensi usahanya untuk mencapai tujuan, tidak menyalahkan orang lain dalam kegagalannya, (2) berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan, lebih unggul, menjadi yang terbaik, (3) bersedia mencari informasi dan mendengarkan pendapat orang lain untuk memperbaiki diri dan mengukur kemajuan dirinya, (4) berusaha melakukan sesuatu secara inovatif dan kreatif, (5) Pandai mengatur waktu, tidak menunda pekerjaan, dan (6) bekerja keras dan bangga atau hasil yang telah di capai.
Definisi lain motivasi berprestasi dikemukakan oleh Murray dalam Hall, Lindzey dan Cambell (2000:234-235), yang mengatakan kebutuhan akan prestasi dapat diartikan dorongan dari dalam diri untuk : (1) melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sulit, (2) menguasai, merekayasa atau mengorganisir obyek-obyek fisik, manusia dan ide-ide, (3) bekerja secara cepat, dan mandiri, (4) mengatasi kendala, mencapai standar tinggi, (5) mencapai performa puncak untuk diri sendiri, (6) mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain, (7) meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.
Sejalan dengan Husaini dan Murray, Robbins (2007:230) mengatakan, kebutuhan berprestasi atau motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi berdasar seperangkat standar, berusaha keras supaya sukses. Ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi antara lain : (1) memiliki dorongan kuat untuk berhasil, (2) berjuang untuk memperoleh pencapaian pribadi dari pada pengharagaan, (3) ingin melakukan sesuatu dengan lebih baik, (4) lebih menyukai tantangan, (5) menerima tanggung jawab pribadi untuk keberhasilan, (6) menyukai tugas-tugas yang sulit, (7) tidak menyukai kebetulan, tapi usaha keras.
Menurut Gary Yukl sebagaimana dikutip Luthans (2005:273), kebutuhan untuk berprestasi dapat diartikan : (1) melakukan sesuatu lebih baik dari pada pesaing, (2) memperoleh atau melewati sasaran yang sulit, (3) menyelesaikan tugas yang menantang dengan berhasil, (4) mengembangkan cara terbaik melakukan sesuatu.
Sedang menurut Luthans (2005;274-275), karakateristik orang yang memiliki motivasi berprestasi adalah : (1) Berani mengambil resiko, (2) menyukai aktivitas yang memberikan umpan balik berharga dan cepat mengenai kemajuan pencapaian tujuan, (3) penyelesaian tugas merupakan hal yang menyenangkan, dan (4) asyik dengan tugas sampai sukses.
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan motivasi berprestasi guru adalah dorongan untuk melakukan atau mengerjakan tugas untuk mencapai prestasi tinggi. Untuk mengukur motivasi berprestasi dapat digunakan indikator sebagai berikut : (1) Dorongan untuk sukses, (2) Senang untuk bersaing, (3) Rasa tanggung jawab, (4) Memperhitungkan resiko, (5) Menyelesaikan tugas yang menantang dan berhasil, (6) Bekerja keras, dan (7) Inovatif.
1. Hubungan positif antara budaya sekolah dengan kinerja guru
Kekuatan hubungan antara budaya sekolah dengan kinerja guru ditunjukkan dengan koefisien korelasi ry1 = 0,685 dan koefisien determinasi r2y1 = 0,469. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru dapat dihasilkan dari adanya variabel budaya sekolah.
Hubungan fungsional antara budaya sekolah dengan kinerja guru memberikan arti bahwa semakin tinggi budaya sekolah akan diikuti peningkatan kinerja guru menjadi semakin tinggi dan baik. Hal ini terjadi karena, budaya sekolah sebagai kepribadian sekolah, disamping dapat menunjukkan dan mempertajam identitas sekolah, dapat juga menjadi pendorong individu, guru dan warga sekolah lainnya, untuk melakukan tugas dan kewajibannya secara optimal.
Disamping itu, pemahaman guru terhadap visi, misi sekolah, dan tujuan sekolah misalnya, dapat mengarahkan guru fokus pada pencapaian tujuan sekolah yang telah dicanangkan melalui program kerja tahunan maupun program kerja jangka menengah yang terukur dan realistis sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing.
Demikian juga dengan nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan aturan-aturan yang dikembangkan sekolah, misalnya: mutu dan pelayanan, dan pengendalian disiplin, dapat mengarahkan dan mendorong guru dan warga sekolah lainnya, berperilaku dan bertindak dengan penuh keyakinan untuk menghasilkan yang terbaik, antara lain : (1) berusaha hadir tepat pada waktunya, sebab jika terlambat apalagi tidak masuk tanpa memberi tahu, murid akan dirugikan; (2) berusaha membuat perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan penilaian sebaik mungkin, (3) apabila mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program sekolah, dan program kerja guru secara berkelanjutan untuk melihat tingkat pencapaian tujuan.
Kebiasaan pengambilan keputusan yang berorientasi kepada orang, yang dilakukan secara profesional, akan mendorong guru dan warga sekolah mengembangkan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan. Tidak kalah pentingnya, kebiasaan memberikan penghargaan berdasar prestasi, akan mendorong guru berusaha memberikan penghargaan pada setiap usaha dan karya murid dan teman sejawat mulai dari senyuman, sanjungan, sampai promosi jabatan.
Kebiasaan guru hidup sehat, misalnya: menghindari merokok dan membuang sampah pada tempatnya, serta kesediaan guru menjaga keakraban dan kekompakan di sekolah, misalnya dengan saling mempercayai satu sama lain, dan santun dalam pergaulan akan mendorong terwujudnya suasana sekolah yang nyaman dan menyenangkan.
Pada akhirnya, suasana sekolah yang nyaman, aman dan menyenangkan akan mendorong guru dan warga sekolah lainnya, betah dalam bekerja, jika muncul masalah akan berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara-cara yang beradab, dan berkeadilan.
Dengan demikian, budaya sekolah yang tinggi dapat meningkatkan kinerja sekolah, karena budaya sekolah yang tinggi dapat meningkatkan komitmen guru dan warga sekolah dalam pencapaian tujuan sekolah. Mendorong seluruh warga sekolah lainnya melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebaik mungkin. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat Kotler dan Hesket yang menyatakan bahwa budaya organisasi berhubungan dengan kinerja, karena budaya yang kuat dapat menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa, dan memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan.
2. Hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan kinerja guru
Kekuatan hubungan antara budaya sekolah dengan kinerja guru ditunjukkan dengan koefisien korelasi ry1 = 0,662 dan koefisien determinasi r2y1 = 0,439. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru dapat dihasilkan dari adanya variabel motivasi berprestasi.
Hubungan fungsional antara motivasi berprestasi dengan kinerja guru memberikan arti bahwa semakin tinggi motivasi berprestasi maka akan diikuti dengan peningkatan kinerja guru menjadi semakin tinggi dan baik.
Hal ini terjadi karena seorang guru yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan terdorong melakukan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik. Misalnya, jika diminta mengajar di kelas yang siswanya banyak mengalami kesulitan belajar, siap menerima tugas tersebut dengan senang hati. Kemudian, berusaha sepenuh tenaga mencari akar masalah, menemukan alternatif pemecahan yang terbaik, dan melaksanakanya.
Rasa tanggung jawabnya sebagai guru yang profesional, mendorong guru melakukan tugas dan kewajibannya dengan sepenuh hati, misalnya dengan : (1) membuat perencanaan pembelajaran sebelum memulai pembelajaran, (2) menyiapkan waktu khusus bagi anak yang mengalami kesulitan belajar, dan (3) memeriksa pekerjaan siswa, (4) hadir tepat pada waktunya.
Dorongan bekerja untuk keberhasilan siswa, dapat mendorong guru untuk bekerja keras dan inovatif dalam melakanakan tugas dan kewajibannya, misalnya dengan: (1) mengajar dengan giat, dan penuh tanggung jawab untuk memperoleh hasil terbaik, (2) berusaha memecahkan masalah yang dihadapi ketika melaksanakan pekerjaan, (3) berusaha menemukan metode ataupun model pembelajaran yang cocok dan bermakna buat anak didik.
Disamping itu, senang untuk bersaing dapat mendorong guru untuk berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan hasilnya lebih baik dari yang lain, siap mengikuti kegiatan lomba guru berprestasi, ataupun guru teladan bahkan mempersiapkan diri mengikuti seleksi kepala sekolah.
Dengan demikian, guru yang memiliki motivasi berprestasi akan mengerahkan segala kemampuan, tenaga dan waktunya untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan, mendorong guru siap menghadapi berbagai tantangan, dan hambatan yang menghadang, serta berusaha memecahkan masalah yang dihadapi.
Hal ini sesuai dengan pendapat David Mc Clelland yang menyatakan bahwa, individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, bila dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks, cenderung melakukannya dengan semakin baik begitu mereka berhasil. Mereka tampak antusias untuk menyelesaikan tugas mereka dengan baik, serta mempelajari bagaimana mengerjakan tugas tersebut dengan lebih baik lagi pada saat mereka melanjukannya lagi.
3. Hubungan positif antara budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama dengan kinerja guru
Kekuatan hubungan antara budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama dengan kinerja guru ditunjukkan dengan koefisien korelasi ry12 = 0,721 dan koefisien determinasi r2y12 = 0,520, sehingga dapat diartikan bahwa 52,00% kinerja guru dapat dihasilkan melalui variabel budaya sekolah dan motivasi berprestasi.
Jika dicermati, koefisien determinasi variabel budaya sekolah sebesar 46,9% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan koefisien determinasi variabel motivasi berprestasi sebesar 43,9%. Perbedaan perolehan nilai koefisien determinasi antara kedua variabel secara sendiri-sendiri tersebut memberikan makna bahwa berdasarkan penilaian responden, faktor budaya sekolah ternyata memberikan sumbangan yang lebih positif dan signifikan bagi peningkatan kinerja guru.
Namun koefisien determinasi budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama sebesar 52,0%, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan koefisien determinasi budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan makna bahwa menurut penilaian responden, kedua faktor budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama ternyata memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi peningkatan kinerja guru.
Dengan demikian, budaya sekolah dan motivasi berprestasi yang berkorelasi secara bersama-sama merupakan faktor yang saling menunjang untuk mencapai kinerja guru yang maksimal. Hal ini terjadi, karena budaya sekolah yang kuat, dan motivasi berprestasi guru yang tinggi akan mendorong kinerja guru menjadi tinggi pula.
Mendorong guru memberikan layanan yang terbaik dalam proses pembelajaran, mulai dari persiapan bahan pelajaran, tujuan pembelajaran yang jelas, hadir tepat pada waktunya dan lain sebagainya. Mendorong guru melakukan setiap tugas yang diberikan dengan penuh tanggung jawab, dan semangat untuk meraih sukses.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara budaya sekolah dengan kinerja guru, motivasi berprestasi dengan kinerja guru, dan budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama dengan kinerja guru.
Kesimpulan
Penelitian dilakukan bertujuan untuk mempelajari hubungan antara budaya sekolah dan motivasi berprestasi dengan kinerja guru SMP Negeri sub Rayon 3 Kabupaten Cianjur, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
B. Implikasi
Implikasi yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini mencakup perlunya usaha secara terus menerus untuk meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan budaya sekolah dan motivasi berprestasi guru SMP Negeri sub Rayon 3 Kabupaten Cianjur.
Upaya Peningkatkan Kinerja Guru dalam Hubungannya dengan Peningkatan Budaya Sekolah
Budaya sekolah dapat memberikan arah yang jelas dalam pencapaian tujuan sekolah, mendorong guru untuk memberikan layanan prima, mengembangkan dan mempertahankan nilai dan norma yang baik, serta menciptakan suasana kerja yang nyaman dan tenang.
Upaya meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan budaya budaya sekolah dapat dilakukan dengan cara antara lain :
2. Upaya Peningkatkan Kinerja Guru dalam Hubungannya dengan Peningkatan Motivasi Berprestasi
Dengan mengkaji hubungan antara motivasi berprestasi dengan kinerja guru, terbukti bahwa motivasi berprestasi mampu memberikan konstribusi yang berarti terhadap kinerja.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sangat perlu melakukan upaya meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan motivasi berprestasi dengan cara antara lain:
3. Upaya Peningkatkan Kinerja Guru dalam Hubungannya dengan Peningkatan Budaya Sekolah dan Motivasi Berprestasi
Budaya sekolah dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berkorelasi positif terhadap kinerja guru. Budaya sekolah yang tinggi jika didukung oleh motivasi berprestasi yang tinggi dapat meningkatkan kinerja guru.
Sebaliknya, budaya sekolah yang rendah dan motivasi berprestasi yang rendah dapat menyebabkan kinerja guru menjadi rendah pula. Jika hal ini dibiarkan akan berakibat buruk terhadap sekolah dan berdampak terhadap pencapaian tujuan sekolah. Oleh sebab itu budaya sekolah dan motivasi berprestasi harus dikelola dan diupayakan sebaik mungkin agar kinerja guru di sekolah dapat meningkat.
Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah:
C. Saran
1. Saran untuk Kepala Sekolah:
a. Secara arif, bijak dan berkelanjutan, kepala sekolah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program kerja guru misalnya dalam hal : (1) kedisiplinan mengajar, (2) mutu dan layanan dalam proses pembelajaran, (3) proses penilaian, dan lain sebagainya
b. Membangun rasa kebersamaan dan kebanggaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah.
c. Melakukan berbagai upaya mendorong warga sekolah melakukan tugas dan kewajibannya secara optimal, bekerja keras, dan inovatif misalnya dengan memberikan penghargaan atas prestasi yang telah diraih berupa promosi, dan lain sebagainya.
d. Perlunya kepala sekolah memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, menghindari merokok, hadir tepat waktu, taat beribadah, santun dan peduli terhadap guru, siswa, orang tua dan tamu, serta sikapnya yang mengayomi dan mendorong guru maupun siswa untuk maju, dan berprestasi, merupakan nilai tambah yang tidak kecil sumbangannya dalam mewujudkan budaya sekolah yang baik, dan pengingkatn motivasi berprestasi.
2. Saran untuk Guru
a. Berusaha memahami dengan baik visi, misi dan tujuan sekolah, serta aturan, nilai dan norma yang dikembangkan sekolah.
c. Mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang karir, antara lain : MGMP, diklat, penelitian tindakan kelas dan kegiatan lainnya.
b. Meyiapkan diri memberikan mutu dan layanan terbaik bagi peserta didik misalnya: penggunaaan metode atau model pembelajaran yang bervariatif, membangkitkan rasa ingin tahu, menjawab pertanyaan dengan jelas dan relevan, melakukan penilaian yang tepat, dan lain sebagainya.
3. Saran untuk Penelitian Lanjutan
Penelitian ini hanya menyangkut kinerja guru berdasarkan dua faktor yang mempengaruhinya yaitu budaya sekolah dan motivasi berprestasi. Oleh sebab itu, agar kajian tentang kinerja guru menjadi lengkap dan mendalam, maka kajian kinerja guru dengan variabel yang berbeda mendesak dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aan Komariah dan Cepi Triana. Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif.
Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Achmad Sobirin. Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPPSTIM YKPN, 2009
Anderson, Lorin W. The Efective Teacher. New York: Mc Graw Hill Publishing
Company, 1989
Bahrul Hayat dan Suhendra Yusuf. Benchmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Burnham, John West and Ingrid Bradbury. Performance Management Manual. Great Britain: Pearson Education, 2003.
Colquitt, Jason, A., Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hil Company, Inc. 2009
Dirjen PMPTK. Pedoman Pelaksanan Tugas Guru dan Pengawas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Djokosantoso Mulyono. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Eleks Media, 2004.
Gibson, James L., John M. Ivacevich, James H. Donnely Jr., dan Robert Konopaske. Organizations: Behavior, Structure, Processes, New York: McGraw-Hill, 2006.
Jones, Jeff, Mazda Jenkin and Sue Lord. Developing Effective Teacher Performance. London: Paul Chapman Publishing, 2006.
Hall, Calvin S.,Gardner Linzey dan John B. Campbel. Theories of Personality. New York:John Wiley & Sons, Inc.,2000
Hari Suderadjat. Pedoman Penilaian Kinerja Guru.Jakarta: Proyek Pengembangan Madrasah Aliyah Departemen Agama, 2001
Huitt, W. Maslow’s Hierarchy of Needs, Educational Psychology Interactive. Valdosta: Valdosta State University, 2007
Husaini Usman. Manajemen: Teori Praktik & Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
|
Kinicki, Angelo dan Brian K. Williams. Management. New York: McGraw-Hil Company, Inc. 2008
Kusnandar. Guru Profesional. Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Luthan, Fred. Organizational Behavior 10 th edition. New Jersey: McGraw-Hill Inc., 2005
d
Martinis Yamin, dan Maisah. Standardisasi Kinerja Guru. Jakarta: Gaung Persada, 2010
Maslow, Abraham. Motivasi dan Kepribadian, terjemahan: Nurul Imam. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1994.
McClelland, David C., John W. Atkinson, Russel A. Clark, dan Edgar L. Lowell. The Achievement Motive. New York: Irvington Publishers Inc., 1976
McClelland, David C. Memacu Masyarakat Berprestasi, terjemahan: Drs. Siswo Suyanto dan Wilhelmus W.B., SE. Jakarta: Intermedia, 1987.
........................“The Three Social Motives”, Managing Motivation for Performance Improvement, ed. David C. McClelland. Boston Hay/McBer, 1995.
Moh. Pabundu Tika. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Payaman J. Simanjutak. Manajemen Evaluasi Kinerja. Jakarta: LPFE UI, 2005.
Popi Sopiatin. Manajemen Belajar Berbasis Kepuasan Siswa. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010
Robins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. Organizational Behavior, terjemahan: Diana Angelica, dkk.
Saiful Bahri. Optimalisasi Kinerja Kepala Sekolah. Jakarta : Gibon Books, 2010
Sondang P. Siagian. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Rineka Cipta, 2004
Surya Dharma. Penilaian Kinerja Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Taliziduhu Ndraha. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Veithzal Rivai dan Eva Jauvani S. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Wahyosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Rajawali Pers, 1999
Wibowo. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers, 2007
Winardi. Motivasi dan Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Wirawan. Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Salemba Empat, 2007.
.............. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat, 2008
[1] Djokosantoso Mulyono, loc.,cit., p.29
[2] David McClelland, The Achieving Society, loc., cit., p. 31
Misi
Melibatkan Orang tua/wali santri/Orang tua/wali santri dalam mewujudkan Visi Yayasan
Melaksanakan Kurikulum Pendidikan Terpadu Dengan Sistem Berasrama Selama 6 Tahun (tingkat menengah pertama dan atas)
Menanamkan Akhlak Karimah (Qur'ani) Dalam Kehidupan Warga Pesantren
Mengembangkan Minat Dan Bakat Santri
Membudayakan Kerja Inovatif
Mencapai Kemandirian Finansial
Menjadikan Lembaga Lebih Dikenal Masyarakat

"Suasana kekeluargaan, anak lebih santun dan sopan, serta suasana sejuknya mendukung anak saya untuk menghafal Al-Qur'an".
Kesan Keluarga Santriwati
Syakira Azzahra - Kelas IX
Asal Ciawi - Bogor
""Alhamdulillah anak kami menjadi lebih mandiri, lebih dekat dengan Al-Qur'an dan lebih memahami ilmu agama".
Wali Santri
Errina Aulia Hidayat - Kelas IX
Asal Cisarua - Bogor

"Saya memberikan apresiasi yang luar biasa, dilihat dari tempatnya Al-Ma'shum Mardiyah sangat cocok bagi santri khususnya penghafal Al-Qur'an, Santri-santrinya juga ramah dan menjunjung tinggi sopan santun terhadap orang tua".
Kesan Wali Santri Fauzan Attauziri
Asal Sukabumi

